Rabu, 09 Desember 2009

Pentingkah Peringatan Hari Anti Korupsi??

PBB telah menetapkan tanggal 9 Desember sebagai hari anti korupsi, semakin bertambah saja seremonial di 365 hari yang tersedia, efektifkah peringatan-peringatan tersebut?


Di Negara kita ini jika kita berbicara tentang korupsi, maka kita juga berbicara tentang budaya, dan jika kita tersambung dengan “budaya” maka kita akan dihadapkan dengan yang namanya kebiasaan. Negara ini sudah hancur lebur dengan moral-moral bejat rakyat dan pemerintahannya.


Di negara kita korupsi sudah mendarah daging, malah yang lebih mengejutkan lagi ibu dari salah satu teman saya yang bekerja di kantor pemerintah tingkat I mengatakan nek awake dewe gak korupsi lha terus anak bojo ku mangan opo?? Lha wong duik gaji cuma cukup gawe mangan wong 2, durung njajane??”.


Para demostran yang sekarang turun ke jalan untuk meneriakkan ”Anti Korupsi” apakah mereka juga sudah terbebas seratus persen dengan korupsi?? Apakah para demostran itu orang-orang bersih dari korupsi?? Apakah kalian yakin mereka orang bersih??


Korupsi yang saya maksud ini adalah definisi korupsi secara luas. Jangan coba mengelak dari pertanyaan diatas dengan mengkerdilkan makna korupsi itu sendiri..


Bila melihat seremonial-seremonial yang seringkali kita peringati dalam momen-momen tertentu ternyata hanya berakhir pada seremonial belaka, tidak berlanjut pada implementasi.


Tengoklah peringatan hari kemerdekaan, apakah berlanjut pada implementasi untuk membebaskan rakyat kecil dari penindasan dan kesewenang-wenangan?, ternyata tidak!. Penggusuran, minimnya akses rakyat untuk pelayanan kesehatan, keadilan dalam hukum, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak masih saja menjadi penyakit kronis yang tak kunjung sembuh juga, walaupun tiap tahun seremoni hari kemerdekaan selalu meriah.


Lalu dengan peringatan hari ibu, apakah efektif peringatan tersebut? ternyata tidak juga!. Lihatlah anak-anak masa kini yang cenderung mengabaikan nasihat yang diberikan oleh orang tua, terutama oleh ibu-ibu mereka. Masih telalu banyak anak-anak yang masih suka membangkang, membentak, mencaci-maki bahkan tega menghabisi nyawa ibunya sendiri!.


Kemudian kini korupsi yang telah mendarah-daging dinegeri ini, bahkan telah mendapat gelar kehormatan sebagai negara terkorup ingin pula dilakukan peringatan atasnya. Mungkin sebagai alat untuk menggembosi pemerintahan yang berkuasa peringatan tersebut bisa efektif, tapi belum tentu tujuan utama pemberantasan korupsi bisa menjadi bagian keprihatinan bersama seluruh anak negeri. Sekali lagi ini hanya akan berakhir pada seremonial belaka tanpa ada tindak lanjut yang benar-benar bisa menjadikan korupsi sebagai musuh bersama.


Kalau memang benar-benar ingin menjadikan korupsi sebagai musuh bersama, tentunya awal reformasi dahulu jadi momentum penting untuk memulainya bagi seluruh elemen yang ada, baik pemerintah, ormas, parpol, LSM-LSM untuk bisa mengarahkan rakyat untuk memilih wakil-wakil mereka dengan cerdas. Tetapi sebaliknya yang terjadi awal reformasi malah semakin menyuburkan praktek-praktek korupsi ditahun-tahun selanjutnya, yang diawali dengan praktek money politic untuk meraih suara dalam pemilu pasca reformasi.


Kalau dizaman Soeharto korupsi berlangsung dibawah meja, diera reformasi bahkan meja-mejanya pun ikut dikorupsi, alias korupsinya begitu terang-benderang tapi sulit terjamah oleh hukum karena masing-masing pihak terkait satu sama lain, seperti yang terjadi sekarang ini!. Coba tengok kasus yang meledak akhir-akhir ini.


Butuh keteladanan, butuh hukuman yang benar-benar bikin kapok para koruptor, kalau perlu sampai pada hukuman mati didepan khalayak umum. Karena korupsi sudah begitu akut, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan, merusak rasa keadilan, merusak kepercayaan kita sesama manusia, merusak hubungan kita dengan sang Pencipta karena ibadah yang dilakukan hanya berupa ritual saja, merusak generasi-generasi penerus bangsa yang kelak diharapkan memimpin negeri ini.


Bagi saya peringatan-peringatan tersebut tidak menjadi hal yang penting untuk dilakukan, jika kita ternyata tidak mau beranjak dari pola hidup yang korup menuju pola hidup yang sehat, yang jujur, yang bertanggung-jawab terhadap hubungan sosial kita sesama manusia, juga kepada Allah SWT.


” Jangan berharap negeri ini akan terbebas dari penyakit korupsi, jika ternyata kita sendiri masih senang untuk menjadikan korupsi sebagai teman sepermainan (Julian Ariyansyah)“

MK Kabulkan Uji Materi UU KPK


Assalamualaikum teman...Salam Sejahtera bagi yang beragama lain.

Kamis besok tanggal 26 November 2009 pukul 13.00 WIB, kampus kita (Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember) akan meyiarkan siaran langsung tentang Uji Materi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melalui video conference di lantai II gedung Fakultas Hukum. Uji Materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) khususnya pasal 32 ayat 1 huruf c tersebut diajukan oleh pimpinan KPK non-aktif Bibit-Chandra. Bagi teman-teman yang belum megetahui duduk perkara kenapa Bibit-Chandra mengajukan uji materi undang-undang tersebut, pada postingan artikel saya terbaru ini akan membeberkan latar belakang mengenai kasus tersebut yang saya lansir dari berbagai sumber. Akhir kata semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua.


MK Mengabulkan Permohonan Bibit-Chandra

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian permohonan uji materi pasal 32 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). MK menyatakan, pasal itu inkonstitusional secara bersyarat. "Menyatakan pasal 32 ayat 1 huruf c tentang KPK bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) kecuali dimaknai pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. saat membacakan putusan majelis hakim MK di Jakarta kemarin (25/11).

MK menilai pasal 32 ayat (1) huruf c UU 30/2002 memang berpotensi menimbulkan pelanggaran hak konstitusional. ''Bukan hanya bagi para pemohon, tetapi juga bagi siapa pun yang sedang atau akan menjadi pimpinan KPK."

Permohonan uji materi diajukan dua pimpinan nonaktif KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah. Mereka dijadikan tersangka oleh Polri karena dinilai menyalahgunakan kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK. Dengan ketentuan di pasal tersebut, bila kasus Bibit-Chandra dilimpahkan Kejaksaan Agung ke pengadilan, dua orang itu akan berhenti tetap dari jabatan pimpinan KPK.

Dalam permohonan uji materinya, Bibit-Chandra meminta MK membatalkan pasal 32 ayat 1 huruf c UU KPK yang berbunyi, pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan, antara lain, karena menjadi terdakwa dalam tindak pidana kejahatan. Mereka menilai pasal tersebut bertentangan dengan pasal 27 ayat 1, 28 d ayat 1, pasal 28 j ayat 2 UUD 1945.

Putusan inkonstitusional bersyarat yang dibacakan kemarin baru pertama dibuat MK. Dalam pertimbangan putusan, majelis hakim MK memang menyatakan menolak permohonan untuk membatalkan pasal 32 ayat 1 huruf c secara keseluruhan. Majelis menilai pencabutan pasal tersebut akan mengakibatkan kekosongan hukum. Di sisi lain, MK tidak berwenang menambahkan atau mengubah pasal dalam UU KPK.
Mantan menteri pertahanan itu juga menegaskan, keputusan MK tersebut tidak serta-merta membebaskan Chandra-Bibit dari jerat hukum maupun mengembalikan mereka ke kursi pimpinan KPK. Mereka baru bisa kembali menjabat setelah Polri dan Kejaksaan Agung menetapkan kasus hukum keduanya tidak dilanjutkan ke pengadilan, baik melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3) maupun surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP).

''Kalau Bibit-Chandra bebas dari masalah hukum, tidak jadi terdakwa, mereka bisa langsung kembali ke KPK, tanpa ada prosedur apa pun, tanpa seleksi lagi, tanpa melamar lagi, langsung. Itu sudah ada dalam perppu (pemberhentian, pemberhentian sementara, dan pengangkatan pemimpin sementara KPK,'' tegas pria asal Madura itu.
Dikabulkannya gugatan uji materi tersebut disambut gembira Bibit dan Chandra. Mereka menyatakan kemenangan itu tidak hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk menyelamatkan institusi KPK. Dengan putusan itu, pimpinan KPK ke depan tidak akan mudah dikriminalkan oleh Polri dan Kejaksaan, dua lembaga penegak hukum yang menjadi objek supervisi KPK.

''Hakim tadi menyatakan ada dugaan rekayasa dan kriminalisasi. Aku ini contohnya. Tidak pernah memeras, tapi dicari-carilah pasal untuk memaksa kami mundur (dari KPK)," tambah Bibit.

Chandra mengakui, putusan MK tidak secara langsung membebaskan mereka dari jeratan kasus hukum maupun mengembalikan mereka ke kursi komisioner KPK. Untuk memperoleh seluruh haknya, mereka masih membutuhkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dari Polri atau surat keputusan penghentian penuntutan (SKP2) dari Kejaksaan Agung.

''Perkara kami belum selesai. Belum ada hitam di atas putih. Apalagi besok kami dipanggil ke kejaksaan untuk mulai (pelimpahan berkas, barang bukti, dan tersangka) tahap kedua," katanya.

Chandra M. Hamzah menambahkan, posisi kasusnya hingga kemarin belum bergerak. Meskipun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah menegaskan bahwa kasus tersebut tidak akan dilanjutkan ke pengadilan.

Bahkan, Chandra menyatakan telah mendapat surat panggilan untuk menandatangani berita acara penyerahan berkas, barang bukti, dan tersangka di Gedung Bundar Kejaksaan Agung. ''Belum ada surat apa pun terkait perkara. Kami besok (hari ini) malah dihadapkan ke jaksa untuk (pelimpahan) tahap kedua,'' katanya.
Kuasa hukum Bibit-Chandra, Trimoelja D. Soerjadi, menyatakan bingung dengan langkah yang diambil kejaksaan untuk menghentikan kasus tersebut.
Bila kejaksaan menunggu berkas dan barang bukti dinyatakan lengkap (P-21), dia menilai tidak bisa dikeluarkan SKPP. ''Ini kontradiktif. Kalau mau menerbitkan SKPP, seharusnya jangan dinyatakan P-21,'' katanya di gedung MK kemarin (25/11).

Kuasa hukum yang lain, Bambang Widjojanto, menilai proses tahap kedua yang dilakukan Kejaksaan Agung hari ini adalah upaya untuk melegalisasi rekayasa kasus hukum terhadap Bibit-Chandra yang dilakukan penyidik Polri. ''Seharusnya kejaksaan menyatakan kasus ini tidak ada sehingga keduanya segera dibebaskan. Kalau masih diproses tahap kedua, artinya masih ada upaya melegalisasi rekayasa kasus hukum yang tidak pernah ada,'' katanya.

Sementara itu, Kejagung mengharapkan segera ada pelimpahan tahap kedua. Itu setelah berkas perkara dinyatakan P-21. ''Harapan kami besok (hari ini, Red), tapi kami menunggu dari polisi,'' kata Kapuspenkum Kejagung Didiek Darmanto.

Selanjutnya, seperti yang diutarakan Jaksa Agung Hendarman Supandji, pihaknya membutuhkan waktu 14 hari untuk bersikap. Apakah menunggu Chandra-Bibit mundur dulu dari KPK? Didiek membantah. ''Tidak ada kaitannya. SKPP ada prosesnya,'' tegas mantan Wakajati Jatim itu.

Terkait berkas Bibit, jaksa belum mengambil sikap. ''Masih dalam kajian jaksa peneliti,'' kata Didiek. Dia menyangkal pelimpahan berkas Bibit merupakan bentuk cuci tangan kepolisian. ''Itu prosedur tetap hukum acara,'' tegas jaksa asal Solo itu.
Terpisah, pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada Eddy Hiariej tetap yakin jaksa bakal menghentikan perkara Bibit-Chandra. "Baru kalau waktu dua Minggu yang diminta Jaksa agung itu tidak dipenuhi kita sebut sebagai pembangkangan sikap presiden," jelasnya kemarin.


Masih Nonaktif

Meskipun telah memenangkan uji materi di MK, Bibit dan Chandra tidak bisa serta-merta memimpin kembali KPK. Keppres pencabutan pemberhentian sementara dan pengangkatan kembali baru akan diterbitkan setelah status tersangka keduanya dicabut atau terbukti tidak bersalah jika kasus ini dibawa sampai di pengadilan.

Staf khusus kepresidenan bidang hukum Denny Indrayana mengatakan, yang dipermasalahkan oleh Chandra dan Bibit di Mahkamah Konstitusi adalah klausul tentang pemberhentian tetap pimpinan KPK. Mereka berdua tidak menggugat status penonaktifan sementara.
Bibit dan Chandra menggugat pasal 32 ayat 1 huruf c UU KPK yang memuat klausul pemberhentian tetap pimpinan KPK karena status sebagai terdakwa. Sedangkan keppres penonaktifan sementara Chandra dan Bibit didasarkan pada pasal 33 ayat 2 yang berbunyi: Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 33 ayat 2 tersebut tidak digugat oleh Chandra dan Bibit.

"Jadi, tergantung status hukumnya. Selama masih tersangka, Chandra dan Bibit akan tetap nonaktif. Mereka, menurut perpu, bisa diaktifkan jika tidak lagi berstatus tersangka," kata Denny saat dihubungi kemarin.

Sehingga, untuk kondisi saat ini, putusan MK belum bisa mengaktifkan lagi Bibit dan Chandra. "Tidak otomatis putusan MK dapat mengaktifkan keduanya sebagai pimpinan KPK, tanpa ada penghentian perkaranya dan pencabutan status tersangkanya oleh kepolisian dan kejaksaan," kata Denny.

Namun, lanjut Denny, putusan MK tidak bisa membuat presiden menghentikan tetap keduanya jika statusnya meningkat menjadi terdakwa. "Kalau tidak ada kekuatan hukum tetap yang menyatakan mereka bersalah, tidak bisa diberhentikan."

Mantan anggota Tim Delapan Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa putusan MK, secara faktual, tidak mengubah status Bibit dan Chandra. Dia menyampaikan, substansi putusan MK membuat pimpinan KPK tidak bisa diberhentikan tetap selama masih berstatus terdakwa.

Faktanya, kasus Bibit dan Chandra tidak akan dilimpahkan ke pengadilan. Karena itu, keduanya memang tidak akan berstatus terdakwa. ''Jadi, itu (putusan MK, Red) sebenarnya tidak ada impact apa-apa,'' kata Todung sesudah diskusi Reformasi Hukum Pasca Sikap Presiden Terhadap Rekomendasi Tim Delapan di Gedung DPD, Senayan, kemarin.

Meski begitu, Todung menambahkan, Bibit dan Chandra punya dua pilihan, yakni kembali memimpin KPK atau mundur. ''Belum tentu juga mau kembali ke KPK. Mungkin merasa mau menjadi swasta atau pensiun saja,'' ujarnya, lantas tersenyum. (noe/sof/fal/pri/git/iro)

Sumber: Jawa Pos, 26 November 2009

Kamis, 02 Juli 2009

Memilihlah Dengan Rasa Tanggungjawab

Tangal 8 Juli segera datang, semua tinggal menunggu waktu untuk pesta demokrasi rakyat Indonesia. Para Capres-Cawapres sibuk untuk kampanye menyerukan visi dan misinya dimana-mana, diseluruh pelosok tanah air. Tak urung pun mereka “turun kebawah” untuk menarik simpatisan yang akan digunakan untuk menuang kemenangan suara mayoritas.

Visi dan misi para calon tersebut berbeda-beda. Capres-Cawapres A punya visi dan misi dengan mengatasnamakan rakyat sebagai tombak kesuksesan Negara, mereka mengelu-elukan dengan system ekonomi yang pro-rakyat. Mengdongkrak suara dengan iming-iming kontrak politik yang salah satu isinya adalah akan menghapus Undang-Undang BHP jika misal mereka terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Sementara itu calon Capres-Cawapres yang lainnya tidak mau kalah, mereka mengiming-iming rakyat dengan pengalihan uang kas Negara kepada sektor pendidikan dan kesehatan. Pendidikan gratis, kesehatan gratis dan merata di seluruh pelosok tanah air. Berbondong-bondong mereka turun ke pasar-pasar, turun langsung untuk meninjau daerah bencana, berpidato di tengah masa simpatisan seakan-akan mereka adalah raja di raja atas semuanya. Rakyat seakan disuguhi dan dicekoki dengan buaian-buain merdu, di doktrin dengan bualan-bualan, dijejali dengan ceramah-ceramah politik para calon tersebut. Bak seorang ibu yang sedang menidurkan anaknya di malam hari, dan anehnya kitalah yang berperan sebagai anak kecil itu. Kita terbuai dengan nyanian merdu para Capres-Cawapres tersebut. Seharusnya kita berontak, kita bangun, kita marah dengan situasi seperti ini.

Suara rakyat akan menentukan segalanya. Suara kita akan menentukan nasib bangsa ini, nasib bangsa Indonesia untuk masa 5 (lima) tahun kedepan.

Banyak orang memilih nomor 1, banyak orang memilih nomor 2, dan tak kalah banyaknya orang memilih nomor 3. Tapi kenapa mereka memilih dengan “mata tertutup”. Banyangkan saja, 70% dari suara rakyat itu memilih dengan alasan yang sama sekali tidak diplomatis.

Mereka memilih karena telah terlena dengan masa lima tahun silam tanpa tahu sebenarnya yang terjadi. Mereka hanya tahu bahwa penguasa sebelumnya telah menurunkan harga BBM sampai tiga kali dan puas dengan hal tersebut. Mereka terlena dengan pencitraan yang berlebihan. Kita juga terlena dengan orang yang menyebut bahwa dirinya pahlawan bagi rakyat. Mega(h)nya negara ini ketika beliau memimpin pada masa dahulu, tapi apa yang terjadi? Berbicara lantang tentang kebenaran, berbicara seakan dia yang paling pintar. Sementara yang satunya tidak kala(h) “hebat”, dia berebut kebijakan dengan sesama rekan untuk menaikkan popularitas, memplot kebijakan-kebijakan atas nama pribadi.

Lalu mau dibawa kemana Negara ini???

Kita sebagai pemilih cobalah untuk antisipatif dengan segala hal, jangan mau di bodohi dengan bualan-bualan. Cermati visi dan misi para Capres-Cawapres tersebut, mana yang menurut anda paling baik untuk memperbaiki Negara ini. Jangan hanya memilih “kucing dalam karung”, jangan hanya asal memilih dan ingin dikatakan sebagai warga Negara yang baik karena telah mengikuti Pemilu.

Memilihlah dengan rasa penuh tanggungjawab, memilihlah dengan berdasarkan dari sebuah kesadaran yang kritis, karena pilihan kita akan menentukan akan kemana kita melangkah. Artinya kita memilih harus berdasarkan atas kesadaran dan bukan karena ikut-ikutan. Kita jangan terlena dengan apa yang kita lihat dan dengar, karena apa yang kita lihat dan dengar belum tentu semua benar, artinya kita harus melihat fakta dan data yang benar-benar dan realistis.

Kenali Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden mengenai visi dan misinya, berkaitan dengan sejarahnya, pemikirannya, dan budi pekertinya. Kemudian pertimbangkan dengan kehidupan bangsa kita saat ini, apakah figur tersebut cocok dengan situasi dan kondisi kita saat ini, dan apakah pemikirannya tersebut dapat membawa kita menuju arah yang lebih baik.

Jangan memilih karena faktor kesukuan, jangan memilih karena faktor agama, jangan memilih karena bentuk wajah dan bentuk badan. Memilihlah dengan rasa penuh tanggungjawab...

Pemilu 8 Juli nanti adalah awal dari kebangkitan negara kita, semoga itu terwujud. Amin...


Minggu, 21 Juni 2009

Dicari!!! Calon Pemimpin Bangsa Berjiwa Pancasilaisme

Pancasila sebagai ideologi Negara memang mempunyai nilai-nilai luhur yang tercantum dalam sila-sila pancasila itu sendiri. Tulisan-tulisan yang terkandung dalam sila-sila dalam pancasila itu sendiri memang selayaknya harus dimiliki oleh siapa pun warga negara Indonesia tak terkecuali satu pun. Dalam hal ini khususnya saya tekankan pada para calon pemimpin kita yang hendak bertarung dalam Pilpres Juli mendatang.

Menilik tentang apa yang terjadi pada era Soeharto. Pada masa penguasaan Orde Baru tersebut telah terjadi pelanggaran terhadap nilai-nilai yang tercantum dalam Pancasila itu sendiri. Dimana hak asasi semua warga negara seakan diinjak-injak dengan leluasa oleh penguasa. Paham demokrasi yang dianut oleh Soekarno telah dinodai oleh rezim Soeharto. Demokrasi telah hilang pada masa 32 tahun tersebut, semua ”mulut pemberontak” telah dibungkam rapat, militer berkuasa penuh dengan bersembunyi dari ketiak penguasa. Pancasila hanya sebagai lambang penghias dinding di kantor, instansi pemerintah, dan sekolah.

Tapi masa Orde Baru telah berlalu dan demokrasi telah berkibar. Sekarang kita benahi semua mulai dari awal dengan mempersiapkan seorang pemimpin yang berjiwa Pancasila.

Seorang calon pemimpin bangsa ini khususnya pada 5 tahun mendatang saya rasa tidak hanya harus memiliki jiwa pancasialisme yang melulu tersirat dalam sila-sila Pancasila itu sendiri, namun juga harus bisa mengamalkannya dalam kepemimpinannya tersebut.

Seorang pemimpin bangsa Indonesia harus seseorang yang berketuhanan dan tidak menuhankan kekuasaannya. Seorang pemimpin negara harus mampu menjamin warga negaranya dan semua penduduk untuk memeluk dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Juga disebutkan dalam pasal 29 UUD 1945. Ayat (1) dan (2) menyimpulkan bahwa, di dalam negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sikap atau perbuatan yang anti terhadap Tuhan Yang Maha Esa, anti agama. Seorang pemimpin negara harus bisa mewujudkan dan menghidupsuburkan kerukunan hidup beragama, kehidupan yang penuh doleransi dalam batas-batas yang diizinkan oleh atau menurut tuntunan agama masing-masing, agar terwujud ketentraman dan kesejukan di dalam kehidupan beragama.

Seorang pemimpin bangsa ini juga harus bisa mengadilkan semuanya. Harus bisa meratakan apa yang harus ”dibagi” dengan semestinya. Tanpa harus membedakan suku, ras dan golongan. Seorang pemimpin bangsa haruslah mampu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan –kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan hal-hal berkaitan dengan harkat martabat manusia Indonesia.

Berdasarkan sila Persatuan Indonesia seorang pemimpin wajib untuk menjaga persatuan wilayah Indonesia dari segi geografis dan kedaultannya. Dewasa ini telah ”hilang” 2 wilayah teritorial kita, semua ini di karenakan kurangnya rasa persatuan di dalam hati seluruh waraga negara Indonesia. Memang untuk menjaga persatuan itu bukan hanya tugas dari seorang pemimpin bangsa, tetapi tugas dari seorang pemimipin bangsa adalah lebih mengukuhkan rasa persatuan itu di dalam jiwa seluruh rakyat Indonesia. Ironis memang mengingat sudah ada beberapa wilayah NKRI telah memilih untuk memerdekakan dirinya. Wilayah Papua dan NAD (Nangroe Aceh Darussalam) telah memilih untuk meninggalkan negara kesatuan kita. Untuk itu peran seorang pemimpin untuk mencegah hal tersebut terjadi. Juga diperlukan peran dari segenap masayarakat untuk mewujudkan rasa persatuan itu terwujud.

Demikian pula dengan dengan prinsip kerakyatan. Suatu landasan yang harus mampu mengantar kepada prinsip-prinsip republikanisme, populisme, rasionalisme, demokratisme, dan reformisme yang diperteguh oleh semangat keterbukaan, dan usaha ke arah kerakyatan universal. Prinsip-prinsip kerakyatan seperti ini, harus mampu ditumbuhkembangkan oleh calon-calon pemimpin bangsa guna membangkitkan masyarakat Indonesia dalam menyadari potensi mereka di dunia modern, yakni kerakyatan yang mampu mengendalikan diri, tabah menguasai diri, walau berada dalam kancah pergolakan hebat untuk menciptakan perubahan dan pembaharuan.

Yang terakhir adalah mewujudkan nilai suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan tujuan dari cita-cita bernegara dan berbangsa, menyangkut keilmuan, keikhlasan pemikiran, kelapangan hati, peradaban, kesejahteraan keluarga, keadilan masyarakat dan kedamaian. Itu semua bermakna mewujudkan keadaan masyarakat yang bersatu secara organik yang setiap anggotanya mempunyai kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang serta belajar hidup pada kemampuan aslinya. Dengan mewujudkan segala usaha yang berarti yang diarahkan kepada potensi rakyat, memupuk perwatakan dan peningkatan kualitas rakyat, sehingga memiliki pendirian dan moral yang tegas. Mewujudkan suatu keadilan sosial, juga berarti mewujudkan azas masyarakat yang stabil yang ditumbuhkan oleh warga masyarakat itu sendiri.

Dengan munculnya seorang pemimpin bangsa yang demikian tersebut maka saya yakin bangsa ini akan jauh lebih maju dan tidak lagi menjadi Negara yang ”terus berkembang”. Sudak tidak jaman lagi untuk mendoktrin masyarakat agar menghafalkan semua sila dalam Pancasila, yang ujung-ujungnya malah membuat masyarakat linglung untuk mengamalkannya. Jadilah seorang pemimpin bangsa yang mampu untuk mengamalkan semua sila di dalam Pancasila, dan menjadi seorang publik figur dan contoh bagi masyarakat Indonesia. Semoga dalam Pilpres nanti akan melahirkan seorang pemimpin bangsa yang mampu untuk mengamalkan sila-sila dalam Pancasila.

Sabtu, 20 Juni 2009

Aku adalah Kalian...

Handa…

Sedikit dari sampah masyarakat yang bisa bertahan hidup dari belas kasiha orang tua..

Segelintir manusia kurang kerjaan yang menghasilkan karya-karya sampah...

Lelah dengan segala pengklasifikasian jenis orang dan otak-otaknya..

Muak dengan semua orang-orang yang merasa dirinya benar..

Tapi menurutku mereka malah lebih dari sekedar sampah…

Tak ada penghormatan lebih tinggi terhadap hidup selain kesuksesan..

Dan tak lain pun berujung pada kecurangan-kecurangan...

Tak ada nilai yang lebih luhur dari penghormatan terhadap cara-cara kotor...

Terhadap cara-cara yang menghalalkan dosa...

Aku telah menyebut diriku adalah sampah...sampah orang-orang terhormat...

Tapi menurutku kalian adalah sampah dariku...

Maka jika aku adalah sampah yang lebih terhormat dari itu...

Akan kupilih diriku sebagai sampah yang lebih baik dari kalian...

 

© Free blogger template 3 columns